Kaji Ulang Gelar Pasukan
TNI
Oleh Wiranto
Telah banyak pemikiran
dan langkah strategis yang dilakukan menyangkut reformasi TNI, sejalan
reformasi nasional sejak 1998. Diawali konsep reformasi TNI yang berjudul ”TNI
Abad 21”, yang lebih banyak membahas perubahan fundamental peran dan fungsi TNI
dalam konteks penyelenggaraan negara, reformasi TNI tersebut terus berproses.
Dari gencarnya pemikiran tentang reformasi, TNI khususnya matra darat, ternyata
masih ada yang lolos dari pengamatan kita, yakni menyangkut penggelaran dan
pengorganisasian matra darat.
Sampai saat ini banyak
kalangan menganggap bahwa penggelaran pasukan darat TNI sudah sangat tepat dan
tak ada kejanggalan sehingga sangat sedikit yang menyoroti hal tersebut. Namun,
sesungguhnya, apabila kita cermati secara lebih saksama, gelar pasukan darat
TNI mengandung banyak kelemahan. Karena itu, sudah saatnya dikaji ulang agar
dapat lebih menjawab perubahan hakikat ancaman dan kebutuhan negara menghadapi
persaingan global yang dinamis.
Di awal pembentukannya
TNI dibentuk tahun 1945,
sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Dalam catatan sejarah,
pada saat pembentukannya, kondisi keuangan negara masih serba kekurangan.
Konsep pembentukan dan penataan TNI juga belum memiliki pola yang cukup jelas.
Orientasi saat itu adalah sesegera mungkin mengorganisasi tentara pejuang
kemerdekaan dalam unit-unityang lebih teratur, sebagaimana tentara reguler.
Dalam kondisi seperti
itu, Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah paling logis,
yakni mengambil alih seluruh persenjataan dan perlengkapan pasukan penjajah.
Demikian pula seluruh barak, asrama, dan markas komando yang dibangun
pemerintahan penjajah Belanda dan Jepang langsung diambil alih dan dijadikan
milik pemerintah, untuk kemudian dijadikan aset TNI. Itulah mengapa pada awal
keberadaan negara Indonesia, peta kekuatan militer TNI terpusat di kota-kota
besar di Jawa.
Pada kondisi keuangan
negara yang tak kunjung menguat, pembangunan fasilitas militer yang baru bukan
jadi prioritas. Gelar pasukan darat di Pulau Jawa yang tadinya dilakukan dengan
terpaksa, bersifat sementara, menjadi suatu kondisi permanen yang tak
terelakkan. Dari tahun ke tahun dislokasi pasukan angkatan darat yang terpusat
di kota-kota besar di Jawa menjadi sesuatu kewajaran yang menggiring kita pada
pemikiran yang tak lagi rasional.
Komando daerah militer
(kodam) di Jawa dibangun sebagai kodam kelas I dengan jumlah pasukan sangat
besar, sedangkan kodam di luar Jawa hanya kelas II dengan sedikit pasukan.
Pasukan Kostrad sebagai pasukan cadangan strategis sebagian besar berlokasi di
Jawa, dilatih, dilengkapi, dan dipersiapkansetiap saat dikirim ke luar Jawa,
membantu pasukan setempat. Tanpa disadari, konsep operasi yang dianut
benar-benar mengulangi apa yang dilakukan tentara kolonial. Tentara yang
terpusat di Pulau Jawa dikirim guna menumpas pemberontakan ke daerah-daerah
yang bergolak.
Dari catatan sejarah
operasi TNI, pada 1958-1959 pasukan
dari Jawa dikirimke Sumatera dan Sulawesi melawan PRRI/Permesta. Pada 1968-1969
pasukan dari Jawa dikirim ke Kalimantan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku.
Dari tahun 1960-an sampai sekarang masih ada pasukan dikirim ke Irian Jaya (sekarang
Papua) untuk menumpas berbagai aksi pemberontakan. Tahun 1976 sampai 1999
mengirim pasukan ke Timor Timur. Tahun 1990-1998, melalui Operasi Jaring Merah,
pasukan dari Jawa dikerahkan ke Aceh guna menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dan
masih banyak lagi operasi serupa yang ternyata banyak menuai masalah.
Pertama, biaya menjadi sangat mahal. Kedua, ada
kesan dominasi pemerintah pusat (Jawa) digunakan untuk menindas daerah (luar
Jawa) dengan kekerasan. Ketiga, mental pasukan yang dikirim tidak prima, jauh
dari keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama. Keempat, banyak tuduhan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang terus dipermasalahkan sampai saat
ini sebagai akibat dari pola operasi semacam itu.
Setelah sekian lama kita
terjebak pada konsep tentara penjajahan dengan titik-titik kuat penempatan
pasukan di Jawa (kuat dalam), sudah saatnya kita menyadari kekeliruan tersebut
dan merumuskan konsep pertahanan yang lebih tepat dihadapkan kepada ancaman
strategis terkini. Berdasarkan analisis lingkungan strategis, ancaman militer
dari negara lain (ancaman tradisional) berupa invasi sangat kecil
kemungkinannya. Meski demikian, kemungkinan ancaman tersebut tidak dapat
diabaikan dan harus tetap diwaspadai.
Ancaman tradisional yang lebih mungkin adalah konflik terbatas
berkaitan pelanggaran wilayah dan atau menyangkut masalah perbatasan. Ancaman
serius yang saat ini tengah dihadapi adalah ancaman nontradisional, yang
dilakukan oleh aktor non- negara terhadap keutuhan wilayah kedaulatan negara,
dan keselamatan bangsa Indonesia. Termasuk di dalamnya, antara lain, gerakan
separatis bersenjata, terorisme internasional maupun domestik, aksi radikal,
pencurian sumber daya alam, penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan
manusia, kejahatan lintas negara, dan berbagai bentuk aksi ilegal lain berskala
kecil maupun besar.
Kita harus mampu
menetralisasi ancaman tersebut dengan memperkuat penjagaan garis perbatasan
wilayah nasional.Konsep pertahanan dengan titik- titik kuat di Jawa harus mulai
diubah dengan titik-titik kuat sepanjang perbatasan. Program pembangunan
infrastruktur, terutama jalan-jalan yang menghubungkan wilayah perbatasan yang
sedang digalakkan Presiden Joko Widodo perlu disinkronkan dengan pembangunan
batalyon dan kompi-kompi unit di wilayah baru tersebut sehingga mendapatkan
keuntungan ganda.
Pertama, membangun early warning system (tanggap bahaya) di
sepanjang wilayah perbatasan di seluruh Indonesia. Kedua, menjaga daerah
perbatasan dari kemungkinan ancaman tradisional maupun nontradisional. Ketiga,
adanya asrama tentara yang dilengkapi dengan sekolahan, puskesmas, tempat
ibadah, dan pasar akan mengundang kedatangan masyarakat untuk mengembangkan
permukiman sepanjang perbatasan. Keempat, terbangunnya sentra-sentra ekonomi
baru yang akan mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Kelima,
penguasaan daerah oleh pasukan setempat akan lebih efektif dengan biaya relatif
lebih murah dengan penguasaan dan pengenalan daerah yang lebih prima, tanpa
tergantung dari tentara pusat. Keenam, membantu penyebaran penduduk dan
dimungkinkannya pembangunan basis-basis industri baru sehingga tidak hanya
terpusat di Pulau Jawa. Ketujuh, mereduksi konflik antaraparat negara di daerah
perkotaan.
Sinkronisasi-pembiayaan
Untuk merelokasi
barak-barak militer ke seluruh wilayah nasional, sekaligus membangun
sentra-sentra ekonomi dan industri ke seluruh wilayah Republik Indonesia,
dibutuhkan perencanaan terpadu dari berbagai kementerian terkait. Hal ini guna
melipatgandakan manfaat, menjamin keberhasilan, dan menghemat pembiayaan.
Misalnya dengan kementerian bidang pendidikan, transmigrasi, pekerjaan umum,
kesehatan, pertahanan, perindustrian, perhubungan, dan keuangan.
Agar tidak terlalu
bergantung pada APBN, Mabes TNI dapat mulai melakukan analisis kalkulasi tukar
guling antara barak-barak, markas militer di perkotaan yang memiliki nilai yang
sangat tinggi dengan pembangunan barak/asrama/markas di daerah perbatasan yang
nilai tanahnya masih murah. Perbedaan nilai tanah dapat dikonversikan pada
nilai bangunan asrama/markas baru yang representatif dan memadai bagi prajurit.
Dengan cara- cara seperti ini, mudah-mudahan dengan sekali jalan kita akan
dapat menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. Wiranto, Mantan
Panglima TNI
ya
ReplyDelete